Home Articles Warning Tentukan Sendiri Level Pedasmu!

Tentukan Sendiri Level Pedasmu!

0
173
Red chili peppers on a chopping board

Di suatu tempat makan yang menyediakan beberapa varian menu ayam, saya begitu memperhatikan suatu tulisan yang ada di dinding, “Tentukan sendiri level pedasmu!”. Tempat makan tersebut menyediakan ayam dengan beberapa level pedasnya, mulai dari level nol. Saya terpukau dengan para pelanggan yang memesan dengan level dua, bahkan ada yang level lima. Sepertinya mereka terbiasa dengan level tersebut, dan mungkin ada beberapa yang malah ingin mencoba sepedas apa di level atasnya. Namun bagi saya yang bukan penggemar pedas, level satu sudah cukup membuat saya berkeringat dan tidak nyaman. Demikian pula dengan emosi kita, kita mungkin menerapkan beberapa tingkatan emosi kita, misal ketika kita bermasalah dengan seseorang, kita hanya cuek memalingkan muka dan kita beranggapan ini masih level satu; karena kalau sudah level dua, kita sudah memancarkan marah dan jengkel di wajah kita kepada orang tersebut. Namun satu hal yang pasti, marah bisa mengakibatkan kerusakan sebuah hubungan, apalagi jika kita tidak berhati-hati dalam ucapan kata-kata kita.

Alasan menjadi marah

Setiap kita bisa marah, namun kadang kita beranggapan bahwa sikap marah adalah satu-satunya bentuk sikap tegas kita kepada orang lain atau dalam suatu keadaan tertentu. Kita bisa memberi alasan bahwa kita boleh marah karena Yesus pun bisa marah (Matius 21:12), dan apalagi ada ayat yang mengatakan “Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu” (Efesus 4:26).

Yang perlu kita teliti kembali, Yesus marah karena Dia memang Allah dan saat itu Rumah Tuhan tidak dihormati; Apakah kita manusia yakin bahwa kita marah karena kita mengasihi Tuhan dan orang tersebut, dan apakah kita tidak berbuat dosa dengan meninggalkan benih kepahitan dan perendahan diri sendiri kepada orang sekeliling kita? Apakah marah dan teguran kita mengeluarkan ekspresi yang “meledak“, emosi yang tidak sehat, kata-kata yang tidak layak diucapkan oleh anak Tuhan seperti merendahkan orang tersebut di muka umum, berkata kasar yang merusak gambar diri orang tersebut; apalagi yang membuat sekeliling kita menjadi kaget dengan perubahan drastis diri kita saat marah; atau ada dari kita yang terus menyimpan rasa jengkel dan marah di keseharian kita? Apakah sikap marah telah menjadi amarah yang meluap? Saya pernah menjadi pelakunya, mungkin juga ada dari kita pernah menjadi pelakunya.

Beberapa penyebab kita marah antara lain adalah:

  • Karena suatu kejadian yang di luar perhitungan atau harapan kita. Misal, ketika hasil tidak sesuai keinginan kita, mungkin ekspresi kekecewaan kita adalah diam seribu bahasa, atau menangis menyalahkan diri sendiri, namun ada pula yang menjadi marah menyalahkan orang lain dan keadaan penyebabnya.
  • Karena kita menyaksikan atau mendengar suatu peristiwa yang tidak adil. Misal, menyaksikan atau mendengar bahwa teman atau anggota keluarga kita tidak diperlakukan dengan benar, membuat kita turut menjadi marah.
  • Karena ego dan rasa tidak aman. Misal, ketika diri kita sendiri yang merasa tidak mendapat perlakuan yang adil dari seseorang, hati disakiti, atau kita menjadi iri hati, diri kita menjadi marah kepada orang tersebut.
  • Karena kurang empati terhadap orang lain. Kita marah karena kita ingin memaksa orang lain mengikuti cara kita (“kacamata kita”) atau kita berusaha mengendalikannya.
  • Karena kita merasa menjadi marah itu wajar dan tepat. Menganggap bahwa marah itu hal yang wajar dan tepat, membuat kita terbiasa (spontan) marah dalam suatu keadaan.

Anger is one letter short of Danger

Mereka menggusarkan Dia dekat air Meriba, sehingga Musa kena celaka karena mereka;
sebab mereka memahitkan hatinya, sehingga ia teledor dengan kata-katanya.
Mazmur 106:32-33

They angered the Lord also at the waters of Meribah, so that it went ill with Moses for their sakes; For they provoked [Moses’] spirit, so that he spoke unadvisedly with his lips.
Psalm 106:32-33 (AMPC)

They angered God again at Meribah Springs; this time Moses got mixed up in their evil;
Because they defied God yet again, Moses exploded and lost his temper.
Psalm 106:32-33 (MSG)

Ketika Musa dan Harun telah mengumpulkan jemaah itu di depan bukit batu itu, berkatalah ia kepada mereka: “Dengarlah kepadaku, hai orang-orang durhaka, apakah kami harus mengeluarkan air bagimu dari bukit batu ini?” Bilangan 20:8-12, Keluaran 17:5-6

Hati-hati dengan ketedoran kata-kata kita saat kita marah atau kecewa, terlebih bagi para pelayan Tuhan atau pemimpin rohani; Musa pernah mengalaminya. Proses pelarian Musa, dan menjadi gembala kambing domba belum membuat Musa sepenuhnya menjadi pribadi yang diubahkan. Musa sebelumnya adalah seorang sentimentil, yang mudah terbawa emosi. Di Masa dan Meriba, mungkin dengan kondisi hati Musa yang belum begitu baik karena sungut-sungut orang Israel yang kehausan, Musa menanggapi perintah Tuhan dengan hati jengkel. Lalu dengan marah meledak, ia mengangkat tongkatnya sebagai lambang otoritas ilahi, sambil berkata lantang kepada orang Israel  “Hai orang orang pemberontak, apakah harus kami yang mengeluarkan air dari bukit batu ini buat kamu?” Memang mujizat dan janji Tuhan tetap terjadi, tapi Musa dan Harun dihukum Tuhan karena dengan otoritas ilahinya, ia telah berkata emosi, meluapkan kejengkelan hatinya kepada orang-orang Israel yang sering bersungut-sungut sejak keluar dari tanah Mesir.

Roh yang lemah lembut

Kita sebagai seorang anak Tuhan, terlebih lagi para pelayan Tuhan maupun pemimpin rohani harus belajar menguasai emosi di saat kondisi hati tidak baik, dan menyerahkan penyebabnya ke tangan Tuhan. Terus memiliki kedekatan dengan Tuhan, mengembangkan rasa empati kepada orang lain, serta menyerahkan semua keadaan yang telah terjadi ke dalam tangan kasih kemurahan dan keadilan Tuhan, akan membuat kita lebih dapat mengendalikan emosi.

Walaupun tidak dapat memasuki negeri perjanjian, Tuhan mengubahkan akhir hidup Musa menjadi pribadi yang lemah lembut. Suatu ketika di tengah-tengah dari suatu perjalanan yang panjang, Harun dan Miryam memberontak kepada Musa, Firman Tuhan mencatat “Adapun Musa ialah seorang yang sangat lembut hatinya, lebih dari setiap manusia yang di atas muka bumi.” (Bilangan 12: 3). Musa tidak lagi marah seperti dulu dan Tuhanlah yang kemudian membela Musa. Sejak dari Masa dan Meriba, Musa terus mendekat kepada Tuhan, salah satunya di gunung Sinai, bahkan ia sudah pernah memandang rupa Tuhan (Bilangan 12:8).

Orang yang sabar melebihi seorang pahlawan, orang yang menguasai dirinya, melebihi orang yang merebut kota.
Amsal 16:32

Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, tetapi perkataan yang pedas membangkitkan marah.
Amsal 15:1

Masih marahkah kita saat ini? Adakah level pedas yang kita pilih saat ini ?

WhatsApp Support
Shalom kak, Kami menyediakan layanan Konseling dan Doa.