Meghan Markle bercerita bahwa ia dibesarkan dalam kemiskinan, padahal ia bersekolah di sekolah yang mahal. Ia berkata bahwa anaknya tidak mendapat gelar kerajaan karena keturunan kulit hitam, padahal buyut yang lain juga tidak mendapat gelar karena memang aturan pemberian gelar, di mana buyut di luar jalur putra mahkota tidak mendapat gelar. Ia merasa hanya menjadi objek saat menjadi gadis pendamping di sebuah acara televisi, padahal ia sendiri yang meniti karir itu. Bahkan baru-baru ini diketahui bahwa ia memiliki adegan yang lebih vulgar setelah keluar dari acara televisi tersebut. Meghan mengeluhkan keadaan dari rumahnya yang berharga 227 miliar rupiah sambil mengenakan gaun seharga 70 juta rupiah.

Ia menganggap dirinya sebagai korban dalam segala situasi, korban dari ayahnya, kerajaan Inggris, industri perfilman, dan terutama korban keadaan karena ia setengah kulit hitam. Ini disebut sebagai victim mentality atau mental korban. Ia mempersalahan keadaan dan semua orang, kecuali dirinya. Ia tidak pernah bersyukur dan merasa bahwa hal buruk selalu terjadi padanya, yang disebabkan oleh orang lain. Tidak ada yang bisa ia lakukan dan semua orang tidak peduli padanya. Mengeluh ke sana sini dan membagikan suasana negatif.

Memang bisa jadi seseorang adalah korban dari keadaan, tetapi ia tetap bisa mengambil tanggung jawab.

Victor Frankl adalah seorang neurolog dan psikiater Austria. Ia, isti dan orang tuanya ditawan oleh Nazi selama empat tahun. Hanya dirinya yang selamat, sementara seluruh keluarganya dibunuh, kecuali seorang adik perempuan yang telah bermigrasi ke Australia. Ia bisa saja mengasihani diri dan membenci keadaannya, tetapi dari penderitaannya menjadi tawanan Nazi, ia membuat sebuah dasar yang kuat bagi pemikiran psikiatri yang disebut sebagai logoterapi.

Frankl berkata, “Semua dapat diambil dari seseorang, kecuali satu hal, yang terakhir dari kebebasan manusia, yaitu untuk memilih sikapnya dalam keadaan tertentu, untuk memilih jalannya sendiri.” Ketika tidak ada yang bisa diubah, kita bisa mengubah cara pandang kita terhadap sesuatu.

Hidup ini merupakan 90% reaksi kita terhadap suatu hal yang terjadi sekarang. Kalau kita terus menerus mengeluh tanpa kita mau berusaha dan hanya menunggu orang lain membantu kita, kita tidak akan kemana-mana dan stuck di tempat.

Ketika kita berdoa kepada Tuhan untuk menyelesaikan masalah kita, mungkin yang menjadi masalah sebenarnya adalah kita, dan Tuhan mau mengubah diri kita untuk menjadi lebih baik, lebih kuat dan lebih dewasa.

Belajar mengucap syukur. Dalam segala hal yang terjadi dalam hidup kita, selalu ada hal yang bisa disyukuri dan selalu ada harapan. Tuhan memberikan kita kehidupan dan hari-hari dalam kehidupan kita adalah kesempatan yang diberikan Tuhan untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Manfaatkan hari-hari yang ada itu untuk menjadi lebih baik dari hari kemarin.

Motivator Nick Vujinic berkata “Saya bisa memilih untuk marah pada Tuhan untuk apa yang tidak saya miliki atau bersyukur untuk apa yang saya miliki.”

Sumber : Esther Idayanti | percayasaja.com | Ren