Bunyi langkah tegas memenuhi koridor istana. Pelayan-pelayan istana hanya bagaikan patung yang terlihat oleh pria pemilik bunyi langkah tersebut. Langkah itu berhenti di depan pintu di ujung koridor. Tanpa berlambat-lambat ia mengetuknya dan membukanya begitu terdengar ijin dari dalam ruangan.

“Ada apa anakku? Kau terlihat bersemangat” sambut seorang lelaki dengan jubah kebesarannya.

“Tentu saja. Ini hari ulang tahunku, Ayah” jawab pemuda itu dengan senyuman lebar di wajahnya. “Sekarang aku sudah berusia 21 tahun. Berikan kepadaku ujung negeri sebagai bagian dari tahtamu untuk kukuasai”

Sang ayah sedikit mengernyitkan dahi mendengarnya.

“Benar, kau sudah dewasa. Tapi tunggulah waktunya sampai aku memberikan kepadamu tahta”

“Ah, kau memberikan tahta kepada kakak di usianya yang dua puluh satu, mengapa aku tidak kau beri juga?”

Akhirnya, Sang Ayah memberikan sebagian tahta yang diminta anaknya, walaupun sang Ayah sebenarnya berat hati.

Pangeran muda itu keluar dari istana dan pergi ke negeri yang menjadi bagiannya. Ia berpesta dan berfoya-foya dengan harta dan kekuasaan warisan ayahnya, dengan yakin, bahwa hartanya tidak akan habis. Hingga pada akhirnya, negeri yang diberikan tersebut jatuh miskin. Ia menjual negerinya dan menjadi budak di negerinya sendiri.

—————————————————————————————————–

Seorang anak seringkali tidak mengerti larangan orang tuanya, mengapa ia dilarang, mengapa ia tidak boleh melakukan ini dan itu. Orang tua pasti tidak ingin hal buruk terjadi pada anak-anakNya. Jika orang tua di bumi tidak ingin demikian, apalagi Bapa di surga yang tentu menginginkan hal-hal baik saja yang terjadi kepada anak-anakNya.

“Selagi ada kesempatan, ambil saja. Kesempatan tidak datang dua kali”

Dunia mengajarkan kita untuk mengambil semua kesempatan, padahal tidak semua kesempatan yang ada, adalah kehendak Tuhan. Bisa jadi itu adalah jebakan yang iblis berikan untuk kita. Khairos atau waktu Tuhan tidak dibatasi dengan kesempatan-kesempatan yang ada, tetapi khairosnya pasti memberikan sesuatu yang jauh lebih baik dan indah daripada kesempatan-kesempatan yang di dunia.

Seorang anak yang belum mengenal hati Bapa cenderung menginginkan berkat, warisan, tanpa mau tahu akan hati Bapanya. Ia menyamakan diri dengan kakaknya yang telah lebih dahulu mendapatkan warisan dan tahta, padahal belum waktunya untuk mendapatkan tahta. Sang kakak telah mendapat tahtanya sebab ia dinilai telah mampu, tetapi lain dengan sang adik. Akibatnya, ia harus menjual negerinya dan menjadi budak di negerinya sendiri.

Bapa rindu memberikan warisan-warisan kepada semua anak-anakNya. Tetapi satu hal, bahwa warisan-warisan yang berharga akan diberikan pada waktu yang tepat menurut ukuranNya, bukan waktu menurut ukuran kita. Waktu Tuhan bukan tentang usia. Ketika anak merengek menginginkan sesuatu yang belum waktuNya, dengan berat hati Bapa berikan, meski Ia tahu akan ada hal buruk terjadi. Sangat menyedihkan jika anak-anak Tuhan menginginkan berkat yang lebih dari hati Tuhan sendiri.

Musuh memberikan jebakan-jebakannya ketika kita tidak mengerti hukum khairos Tuhan. Misalnya, anak menginginkan cinta yang belum waktunya, maka musuh, yakni iblis, akan memberikan jebakannya, yaitu kesempatan untuk membangun hubungan akan diberikan. Kemudian anak merasa bahwa ini adalah waktu Tuhan karena ada kesempatan. Fokusnya tidak lagi untuk melayani Bapa, hingga akhirnya, anak pun jauh dari Bapanya dan jatuh ke dalam dosa.

Manusia sering menggunakan logika-logikanya, tetapi Tuhan tidak demikian. Kita harus menyelaraskan pikiran dan kehendak dengan Bapa.

Pangeran muda memiliki karakter yang arogan, ia ingin melakukan segala sesuatu tanpa bimbingan sang Bapa. Seolah-olah ia memimpin bagian negeri Bapanya, tetapi sebenarnya tidak, karena itu ia meminta bagian negeri terjauh. Ia tidak mau berada dalam bayang-bayang Bapanya, tidak mau diatur dan dibimbing. Ia tidak hidup dalam fokus sang Raja dan ingin memerintah bagiannya sendiri. Ia memaksa Bapanya untuk memberikan bagiannya, padahal belum waktunya.

Karakter-karakter ini sering juga tanpa sadar kita miliki. Misalnya, ketika suatu acara KKR, kita membuat acara yang begitu luar biasa, tetapi acara ini bukan kehendak Tuhan, karena tidak murni, tercampur dengan ambisi pribadi. Menggunakan nama Tuhan untuk bekerja, tetapi sebenarnya bekerja sendiri.

Waktu bukanlah tentang umur. Kedewasaan seseorang tidak dapat ditentukan dari umurnya. Pangeran muda ini belum pernah mengatur kekayaannya sendiri, namun tidak mau dibimbing orang tuanya. Akhirnya ia kehilangan arah dan tujuan, hanya berfoya-foya menghabiskan kekayaannya dan berakhir pada kehilangan kuasa dan otoritas. Sebanyak-banyaknya warisan kita, suatu saat akan habis.

 —————————————————————————————————

Di antara babi-babi, ia merenungi keadaan dirinya. Bajunya kotor penuh lumpur, bahkan lumpur itu ada di seluruh tubuhnya. Kini ia tidak punya tempat untuk ditinggali. Ia diusir dari istananya dan hidup di jalanan. Ia meminta pekerjaan pada orang-orang yang dahulu adalah rakyatnya. Seorang peternak kemudian menawarkan kepadanya pekerjaan merawat babi-babinya. Namun karena kemiskinan yang hebat di negeri itu, peternak ini pun juga tidak dapat memberikan makanan yang layak baginya.

Ia hampir melahap ampas yang menjadi makanan babi sebelum ia teringat akan Bapanya. Seandainya ia tidak meminta tahta dan keluar dari istananya, tentu ia tidak akan begini. Bahkan pelayan-pelayan di istananya hidup jauh lebih baik. Ia bangkit dari tempatnya, melangkahkan kaki untuk pulang. Tapi kemudian keraguan menyergap dirinya. Bapa pasti marah, pikirnya. Ia pun mengurungkan niat dan kembali.

Namun kerinduan akan Bapa kembali menghampiri. Kali ini ia membulatkan tekadnya dan kembali berdiri. Kali ini ia berjanji untuk berlari dan tidak akan menoleh ke belakang lagi. Dikepalkan tangannya erat dan mengangkat sebelah kakinya, bersiap untuk berlari. Ia menghitung dalam hatinya.

1… 2… 3…

Dan ia pun berlari sekencang mungkin, melewati peternakan, melewati pertokoan dan akhirnya ia melewati perbatasan negara. Tidak ada satu kerinduanpun untuknya menoleh ke belakang.

Ia melihat bangunan megah, istananya. Rasa takut kembali datang. Tapi, ia tidak bisa kembali lagi. Selangkah lagi… selangkah lagi…

Di ujung jalan, ia dapat melihat sesosok pria tua. Ia terhenti melihatnya dan mata mereka bertemu. Tak lama, pria tua itu berlari menuju arahnya. Kakinya terasa kelu tak bisa bergerak. Namun, teriakan pria tua itu memanggil namanya dengan wajah penuh senyuman menggetarkan kakinya. Ia berlari juga ke arah pria tua itu dengan air mata yang tak dapat ditahannya lagi.

“Kau kembali anakku, aku tahu, kau pasti kembali” kata pria tua itu memeluk anaknya yang telah lama hilang dan dinanti-nantikannya.

“Maafkan aku, Ayah. Maafkan aku…” ujarnya di pelukan sang ayah. “Ayah, aku tak pantas menjadi anakmu, jadikan aku pelayan di istanamu saja”

“Apa yang kau katakan? Kau tetap anakku dan sampai kapanpun, itu tidak akan mengubah statusmu. Hei pelayan… Berikan dia jubah terbaik di negeri ini, pasangkan cincin dan pakaikan kasut, potonglah lembu dan mari kita berpesta, sbab anakku telah kembali!”

 —————————————————————————————————–

Majikan berbicara mengenai roh duniawi. Begitu banyak orang saat ini ingin mengumpulkan kekayaan secara instan, membangun pelayanan dengan instan, kemudian menjual diri kepada roh-roh di udara dan segala keinginan duniawi, hingga akhirnya roh Tuhan tidak lagi berkuasa atas dirinya. Fokusnya kemudian berubah menjadi “perut”, yang berbicara kedagingan, perkara duniawi semata. Ampas babi tentu bukanlah makanan yang layak untuk menjadi makanan manusia. Untuk berpikir memakan ampas makanan babi itu pun tentu sudah suatu hal yang gila, bukan?

Namun untunglah, pangeran muda ini menyadari keadaannya dan kembali teringat akan ayahnya. Ini merupakan titik balik pertobatan yang dimiliki pangeran muda untuk mencari wajah Bapanya kembali. Awalnya ia ragu dan takut, apakah Bapa akan menerimanya kembali atau tidak. Ini adalah salah satu jebakan iblis. Iblis membuat kita merasa takut, apakah kita diterima kembali, apakah Bapa masih menyayangi kita atau tidak. Satu hal yang perlu kita ingat adalah Bapa masih dan tetap mengasihi kita.

Dengan kerendahan hati ia kembali kepada Bapanya. Inilah kunci pemulihan. Dengan kerendahan hati dan tekad bulat untuk mencari Tuhan dan memohon ampun. Saat itulah ia dapat kembali menemui Bapanya. Cincin berbicara ikatan janji Tuhan, kasut berbicara hak untuk melangkah dalam iman, jubah berbicara pemulihan otoritas, lembu berbicara korban penghapus dosa dan pesta berbicara sukacita akan pemulihan.

——————————————————————————————————

Sang kakak pulang ke istana Bapanya. Dari kejauhan ia mendengar bunyi musik yang meriah. Dapat diciumnya aroma masakan yang menggugah selera makan. Pikirnya “ada apa dengan semua ini?”

Dipanggilah pelayan istana yang berada di dekatnya untuk menjawab pertanyaannya. Namun begitu mendengar jawabannya, emosinya tersulut naik. Ia begitu marah dan tidak mau masuk ke dalam rumah, bersiap untuk kembali ke istananya.

Sang raja mendengar hal itu kemudian keluar dan berbicara pada anaknya yang sulung agar tidak mengganggu suasana.

“Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku. Tetapi baru saja datang anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur, maka bapa menyembelih anak lembu tambun itu untuk dia” marahnya kepada sang ayah.

Kemudian sang Raja menjawab “Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu. Kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali.”

—————————————————————————————————-

Anak raja yang sulung memiliki dosa kesombongan dan penuh penghakiman. Ia meminta Bapa selalu menjumpai dan menyambutnya, bukan ia yang datang pada Bapanya. Ia menganggap bahwa ia telah menaati perintah Bapanya, maka ia seharusnya mendapat yang lebih baik dari ayahnya. Tujuan ketaatannya adalah upah, bukan karena keinginan untuk mengabdi kepada Bapanya. Akibatnya, ia tidak mengerti hati Bapanya dan menjadi penentang-penentang akan keputusan yang dibuat oleh ayahnya, yang membimbingnya.

Lalu, yang manakah kita? Anak sulung kah? Atau anak bungsu kah?