Tidak hanya mengungkapkan kasih yang memiliki ragam cara, ternyata meminta maaf juga memiliki beragam cara lho!

Hal inilah yang membuat kamu terkadang sulit memaafkan atau dimaafkan orang lain, karena perbedaan tipe bahasa, yang mana kamu menilai orang tidak secara tulus meminta maaf. Misalnya, ada orang yang bisa dengan mudah memaafkan ketika seseorang berkata “Aku minta maaf, aku salah.” Tapi bagi orang lain, kalimat tersebut terasa kosong dan tidak cukup untuk menyelesaikan konflik. Ia membutuhkan janji pertanggungjawaban dari orang tersebut.

Gary Chapman, yang juga penulis dari The Five Love Languages, menulis ada lima ragam meminta maaf atau Apology Language yang ditulis dalam bukunya yang berjudul The Five Languages of Apology yang terbit di tahun 2006 bersama rekannya, Jennifer Thomas. Jika love languages adalah cara kita menunjukkan pada seseorang bahwa kita mencintainya, apology languages adalah cara kita menunjukkan penyesalan.

Kelima apology languages tersebut adalah:

Expressing Regret (Mengungkapkan Penyesalan)

Tipe ini menunjukkan penyesalan akan kesalahan dengan meminta maaf dengan tulus. Bagi orang-orang dengan tipe ini, kata “maaf” adalah yang terpenting dan tidak boleh terlewat. Ketidakhadiran kata “maaf” akan sangat diperhatikan, termasuk juga dengan bahasa tubuh yang benar-benar menunjukkan penyesalan.

Mereka dengan tipe ini ingin orang mengetahui apa yang menjadi kesalahannya, bukan meminta maaf karena apa yang mereka rasakan, seperti “maaf karena kamu terluka,” tapi mereka ingin orang meminta maaf karena tahu kesalahannya, seperti “aku minta maaf, aku buat kamu kecewa.” Mereka tidak suka pembenaran-pembenaran, seperti “aku minta maaf, tapi karena aku tadi ketiduran dan kejebak macet” atau bahkan memutarbalikkan keadaan sehingga mereka yang salah, seperti “aku minta maaf, tapi kamu juga nggak ingetin aku.”

Accepting Responsibility (Menerima Tanggung Jawab)

Bagi mereka dengan bahasa ini, kata maaf saja kurang cukup. Mereka ingin mendengar kalimat lain setelah kata maaf. Mereka dengan tipe ini ingin orang-orang bisa belajar dari kesalahannya, apa yang seharusnya kamu lakukan agar hal ini tidak terjadi lagi, seperti “maaf, seharusnya aku beri tahu kamu lebih awal.”

Namun, hal ini sedikit sulit bagi sebagian orang. Mengakui kesalahan bisa menjadi tanda kelemahan yang menurunkan harga diri. Hal ini tergantung bagaimana dengan pola asuh ia dibesarkan.

“Ketika seorang anak dihukum secara berlebihan, dikutuk atau dipermalukan karena kesalahan kecil, rasa berharga atau harga dirinya berkurang,” tulis Chapman dalam bukunya. Ia menjelaskan bahwa secara tidak sadar, anak jadi memiliki pola pikir bahwa mengakui kesalahan adalah hal yang buruk dan hal itu dibawa hingga dewasa. Ia memiliki pola pikir bahwa mengakui kesalahan sama dengan menyerang harga dirinya. Ketika ini menjadi pola pikir kita, kita akan beralih untuk menyalahkan orang lain atau membenarkan perilaku kita sendiri, misalnya “maaf, aku lupa. Kamu sih nggak mengingatkan aku.”  Namun, Tuhan menciptakan manusia dengan akal pikiran, yang mana manusia bisa belajar untuk bertumbuh dan dewasa. Kita bisa belajar untuk mengalahkan luka masa lalu.

Mereka dengan tipe ini juga menitikberatkan kalimat “Sorry, I was wrong (Aku salah)” dengan “Sorry, I’m bad (Aku memang buruk).” Kalimat aku salah berarti menerima tanggung jawab bahwa ia telah melakukan kesalahan. Tetapi kata aku memang buruk adalah bentuk rasa malu, karena ia memang seperti itu dan tidak bisa berubah.

Making restitution (Ada ganti rugi)

Kata-kata “aku minta maaf” dan “aku salah” tidaklah cukup bagi mereka dengan tipe ini. Mereka ingin ada usaha dan tindakan nyata bahwa kamu benar-benar ingin memperbaiki keadaan, seperti kalimat, “apa yang bisa aku lakukan untuk menebus kesalahanku?”

Memahami bahasa kasih mereka dapat membantu kita untuk memperbaiki kesalahan. Tunjukkan rasa penyesalan dalam bentuk bahasa kasih mereka, misalnya memberikan hadiah, memberi bantuan dan lain sebagainya. Mereka akan melihat ini sebagai bentuk permintaan maaf yang tulus.

Beberapa permintaan maaf terkadang membutuhkan lebih dari sekadar ucapan. Misalnya ketika merusakkan suatu barang, kita harus bertanggung jawab untuk kerusakannya. Entah memperbaikinya, atau memberikan barang baru, seperti mobil yang rusak, jam tangan yang tergores, termasuk juga nama baik seseorang.

Genuinely Repeating (Sungguh-sungguh Bertobat)

Kalimat “aku mau berubah” atau “aku nggak akan lakukan lagi” menjadi kata-kata penting bagi mereka dengan bahasa ini. Kata “maaf” perlu ditunjukkan dengan bukti nyata bahwa kamu tidak akan melakukan lagi. Namun mereka membutuhkan penegasan dengan ucapan bahwa kamu tidak akan melakukannya lagi. Jika tidak, mereka tidak akan sadar kalau perubahan sikap yang mereka lihat adalah bentuk permintaan maafmu kepada mereka.

Mereka membutuhkan kata-kata penegasan bahwa kamu mau berubah dan tidak melakukannya lagi, barulah mereka akan melihat bahwa kamu sungguh-sungguh mau berubah. Bahkan jika perlu, kamu perlu menyampaikan rencana perubahanmu. Misalnya, “maaf aku terlambat bangun, aku tidak akan melakukannya lagi. Aku akan pasang alarm setiap pagi supaya tidak terlambat lagi.”

Requesting forgiveness (Meminta untuk Dimaafkan)

Kita mungkin pernah mendengar kalimat, entah di film atau di lingkunganmu “Mereka bilang maaf, tapi mereka tidak pernah bertanya apa aku sudah memaafkan mereka.” Terdengar lucu, tetapi mereka dengan tipe ini ingin ditanyai apakah mereka sudah memaafkan orang yang bersalah pada mereka. Mereka ingin ada tindakan aktif kedua belah pihak untuk memaafkan dan dimaafkan.

Namun, ini tidak mudah bagi sebagian orang. Dengan bertanya “mau nggak kamu memaafkan aku?” berarti memberikan kontrol kepada orang yang terluka untuk memaafkan atau tidak. Orang-orang dominan yang terbiasa memiliki kontrol bisa tiba-tiba merasa kehilangan kontrol dan merlukai harga diri mereka. Sebagian orang berpikir “yang penting aku sudah minta maaf, kalau dia nggak mau maafin, ya sudah.”

Dibutuhkan kerendahan hati untuk membiarkan orang lain memiliki kontrol atas diri kita. Hampir sama dengan mereka yang bermasalah untuk bertanggung jawab terhadap kesalahan mereka, kita memiliki kemampuan untuk berubah, dan didewasakan di area ini.

 

Tidak hanya mengetahui love language seseorang, mengetahui apology language seseorang juga akan membantu kita untuk mempertahankan hubungan dengan orang lain. Namun kita juga perlu belajar untuk menerima orang lain jika mereka memiliki bahasa yang berbeda dengan kita.

Mengampuni merupakan salah satu tindakan mengasihi, bagaimana kita tetap mengasihi orang yang melukai dan mengecewakan kita. Sebagaimana Kristus selalu mengampuni kita setiap kali kita datang meminta ampun kepadaNya, mari kita juga mengampuni orang lain.

dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami; – Matius 6:12

Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu.” – Matius 6:14-15

 

Sumber : percayasaja.com | Ren