Pada sebuah sesi konseling, seorang psikolog mendengar keluhan seorang pasiennya yang mengalami depresi. Sang pasien komplain berbagai hal, ia membeci hidupnya, merasa rendah diri dan ia menyalahkan orang lain atas banyak hal yang terjadi dalam hidupnya. Usai mencurahkan semuanya, ia menghela nafas kemudian mempersilahkan psikolog tersebut berbicara.

Sang psikolog mengambil sehelai kertas putih kosong lalu menunjukkannya kepada pasiennya. Ia berkata pada pasiennya untuk melihat betapa putih dan besarnya kertas tersebut. Kamudian sang psikolog mengambil pena dan menggambar sebuah titik hitam kecil di tengahnya. Ia menunjukkan kertas tersebut dan bertanya kembali, “Apa yang kamu lihat?”

“Aku lihat sebuah titik,” jawab pasien tersebut.

“Selain titik, apa lagi yang kamu lihat?” tanya sang psikolog kembali.

“Hanya titik.”

Dengan tenang dan lembut, psikolog itu berkata, “Kertas ini masih putih dan luas seperti pertama kamu melihatnya, tapi kamu hanya melihat titik itu saja?”

“Ya, karena saya tidak mau titik itu ada di situ,” jawab pasien.

Hidup tidak selalu berjalan seperti yang kita inginkan. Kadang kita harus menerima “titik hitam” itu ada di kertas kita. Seringkali kita hanya melihat pada titik hitam pekat yang mengganggu. Padahal titik hitam itu sangat kecil dibandingkan kasih Tuhan yang begitu luas, dengan berkat-berkatNya yang terlalu banyak untuk kita hitung.

Selalu ada hal yang bisa merenggut sukacita kita, tetapi banyak hal yang bisa membuat kita bersukacita juga. Asal kita mau mengubah sudut pandang kita tidak kepada “titik hitam” tersebut, melainkan pada kertas putih yang jauh lebih besar daripada “titik hitam” itu. Menjadi bahagia adalah pilihan kita untuk fokus kepada kasih Tuhan, dan bukan kepada masalah kita.

Seorang yang selalu positif, bukan berarti tidak memiliki kejadian buruk dalam hidupnya.

Tetapi karena ia percaya kepada Tuhan yang setia dan tidak pernah meninggalkannya. Bahkan percaya bahwa Tuhan dapat menggunakan kejadian yang nampaknya buruk untuk kebaikannya.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Brown dan Wong dari Indiana University, ditemukan bahwa mengucap syukur dapat memperbaiki kesehatan mental. Bersyukur ternyata mengaktifkan daerah batang otak yang menghasilkan dopamin dan meningkatkan serotonin yang dikenal sebagai happy hormones atau hormon yang mengatur rasa bahagia.

Ucapan syukur membantu mengubah fokus hidup dari emosi negatif menjadi positif. Ketika kita mengucap syukur, maka otak akan sibuk memikirkan hal-hal baik dan tidak berkutat pada hal-hal negatif. Mengucap syukur bukan berarti berpura-pura tidak ada masalah, melainkan mengakui bahwa di tengah masalah pun, selalu ada hal baik yang terjadi, seperti ada keluarga dan sahabat yang peduli, dan ada Tuhan yang menolong. Tidak bersyukur sama dengan tidak puas akan kehidupan yang berarti menolak Tuhan yang memberikan segalanya.

Apa yang menjadi fokus kita? Kertas putih yang luas atau titik hitam kecil di tengahnya?

Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu. – 1 Tesalonika 5:18

Sumber : Esther Idayanti | percayasaja.com