“Tunggu papa, sabar nak, ini papa matikan laptop dulu!”

“Sabar nak, sebentar, satu-satu dulu, itu dibereskan dulu mainannya!”

Itulah kata-kata yang tidak jarang kami ucapkan kepada anak perempuan kami yang berusia 2, 5 tahun, yaitu di saat dia tiba-tiba meminta gendong saat saya sedang bekerja di depan laptop; atau di saat dia mengajak bermain yang lain, namun mainan sebelumnya di lantai belum dibereskan. Tentu bagi seorang anak yang masih kecil, itu adalah kebutuhan emosinya. Dia merasa senang ketika keinginannya bisa dituruti; dan tentulah sedini mungkin, kami berupaya mengajarkan bahwa tidak semua keinginannya bisa dituruti saat itu juga atau berjalan sesuai keinginannya. Dia harus bersabar, menunggu, membereskan pekerjaannya terlebih dahulu, serta belajar percaya dengan perkataan papa mamanya.

Demikian pula dengan Bapa kita di surga yang mengasihi kita. Dia ingin agar kita tetap senantiasa bertekun menantikan-nantikanNya dalam doa, tetap percaya memegang FirmanNya, sambil menyelesaikan porsi pekerjaan kita dengan tepat sebagai anak Tuhan. Tuhan ingin dalam penantian kita, kita tidak hanya berdiam, tetapi kita tetap mengerjakan apa yang menjadi bagian kita.

“Jadi, baiklah kita menunggu dengan tenang sampai TUHAN datang memberi pertolongan; Baiklah kita belajar menjadi tabah pada waktu masih muda.”
Ratapan 3:26-27 BIS.

Orang yang tabah bukanlah orang yang pasif dan pasrah dengan keadaan sekitar, melainkan orang yang aktif yaitu memiliki kemantapan hati, merespon dengan hikmat Tuhan dalam keadaan tidak baik.

Apa contoh respon kita yang tepat sebagai anak Tuhan dalam keadaan tidak baik yang terjadi hari-hari ini? Selesaikan porsi pekerjaan kita dengan mantap dan tangkas. Miliki sikap hati elastis dalam bekerja, mau belajar apa pun, tidak ragu-ragu dan mau berusaha terlebih dahulu. Kita tenang karena percaya pada FirmanNya bahwa Ia tidak akan sekali-kali meninggalkan kita.

Bukankah ketangkasan, kerendahan hati dan kedamaian itu yang diminati oleh banyak orang, dan bahwa kita selalu menjadi garam dan terang dunia, entah siap atau tidak siap. Namun pertanyaannya, apakah kita masih “muda” atau menyebut diri kita sudah “tua”?

 

Sumber : percayasaja.com | AW