Sejak beberapa bulan terakhir, gereja dan masyarakat Kristen dibuat heboh dengan isu bahwa menyanyikan lagu rohani harus membayar royalti, terutama jika menggunakan platform online, seperti Youtube. Hal ini dikaitkan dengan aturan pemerintah yang tertulis dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 (UU 28/14) tentang Hak Cipta serta PP 56/2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.
Isu ini membuat banyak pertanyaan dan kekhawatiran di gereja, termasuk hamba Tuhan dan jemaat, karena ibadah umat Kristen tidak bisa dipisahkan dengan lagu rohani. Apalagi sejak pandemi, banyak gereja dituntut harus melakukan ibadah secara online yang disiarkan melalui platform Youtube.
Dalam aturan pemerintah yang tertulis dalam PP 56/2021 pasal 3 tertulis “Setiap orang dalam melakukan penggunaan secara komersial lagu dan/atau musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersal dengan membayar royalti kepada pencipta, pemegang hak cipta, dan/atau pemilik hak terkait melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).” Dan bentuk layanan publik komersial yang diharuskan membayar royalti adalah:
- Seminar dan konferensi komersial,
- Restoran, kafe, pub, bar, distro, kelab malam dan diskotik,
- Konser musik,
- Pesawat udara, bus, kereta api, kapal laut,
- Pameran dan bazar,
- Bioskop,
- Nada tunggu telepon,
- Bank dan kantor,
- Pertokoan,
- Pusat rekreasi,
- Lembaga penyiaran televisi,
- Lembaga penyiaran radio,
- Hotel, kamar hotel, dan fasilitas hotel,
- Usaha karaoke.
Tidak tertulis bahwa gereja ataupun ibadah gereja harus membayar royalti. Mari kita renungkan, apakah gereja, ibadah, kebaktian kebangunan rohani, termasuk dalam kategori komersial sehingga diharuskan membayar royalti.
Aturan tersebut diterbitkan sebagai bentuk perlindungan atas hak cipta karya seseorang dan hal ini merupakan suatu hal yang penting.
Seorang pencipta lagu rohani Tonny Mandak menanggapi aturan tersebut dengan berkata “Sebagai pencipta lagu rohani, masa saya tega memungut royalti dari orang yang hanya sekadar menyanyikan lagu rohani ciptaan saya di pesta atau gereja.” Ia menegaskan bahwa menciptakan lagu rohani adalah sebuah pelayanan baginya.
Pada 28 Oktober 2021 lalu, gereja sempat dihebohkan dengan pernyataan Sinode Gereja Bethel indonesia (GBI) yang mengeluarkan surat edaran perihal Hak Cipta Lagu yang sempat menghebohkan. Surat tersebut ditandatangani oleh Pdt. Dr. Rubin Adi Abraham selaku Ketua Umum sinode GBI dan Pdt. dr. Josafat Mesach, M.Th sebagai Sekretaris Umum.
Salah satu poin dalam surat tersebut mengatakan bahwa mereka membebaskan umat dan gereja untuk menggunakan lagu-lagu yang diciptakan oleh kalangan GBI untuk ibadah, selama bukan untuk tujuan komersial. Di antaranya adalah lagu-lagu yang diciptakan oleh Pdt. Niko Njotoraharjo, Pdt. Welyar Kauntu, Pdt. Djohan Handojo, Symphony Music, Symphony Worship Group, Bethel Worship, WTC Worship, Sudirman Worship, Pdt. Ronny Daud Simeon, Pdt. David Tjakra Wisaksana, Pdt. Danny Tumiwa, Pdt. Kristina Faraknimella dan GBI Rayon 3 Group, GBI JIS, Keluarga Besar GBI Medan Plaza, Pdt. Johan Krisdianto, Jason Irwanto, Kidung Jemaat, dan Nafiri Kemenangan.
Sumber : berbagai sumber