Musa ini sebenarnya sedang menuntun kita ke mana? Sepertinya di depan kita, ada laut yang begitu besar dan dalam, tapi dari tadi kita amati dari kejauhan, kita tidak melihat adanya kapal besar yang mampu menampung kita semua. Musa, apa yang sebenarnya kau pikirkan?

Sudah berjam-jam kita berkemah di tepi laut, tapi kita tidak melihat satu pun kapal besar atau para prajurit yang Tuhan kirim untuk melindungi kita

Lihat apa itu di sana, apa ada badai pasir sedang menghampiri kita? Tapi sebentar.. bukan, itu tentara Mesir sedang mengejar kita. Gawat, kita akan mati di padang gurun ini. Musa, apa kuburan di Mesir sudah penuh, shingga kau membuat tempat ini menjadi kuburan kami. Bukankah kami sudah berkata jangan ganggu kami, kami lebih baik bekerja di Mesir daripada kami mati sekeluarga di sini…

Hidup selamanya sebagai budak, apakah lebih baik daripada mati sebagai orang merdeka? Jika memang iya, maka bangsa kita tidak mungkin menetapkan tanggal 17 Agustus 1945 sebagai peristiwa yang tercatat di dunia. Lalu, tidak ada para pahlawan yang gugur di medan peperangan, karena mereka dengan senang hati rela dijajah dan diinjak-injak. Namun itulah yang terjadi persis yang diceritakan oleh Musa, orang Israel lebih memilih hidup dijajah daripada mati sebagai orang merdeka. Mereka begitu lari ketakutan kesana kemari, berseru-seru kepada Tuhan “Tuhan, Tuhan tolong, gawat, kami akan mati di tempat  ini”, sekaligus … memarahi Musa dengan nada histeris “Musa, kamu gila. Kami itu tidak mau ikut sebenarnya, tapi kau terus paksa kami. Ini sekarang bagaimana”. Terbersit saya membayangkan saat itu mungkin seperti sebuah sinetron, tetapi yang orang Israel alami saat itu, kadang kita bisa mengalaminya.

Di belakang kita ada tentara-tentara “musuh” yang pernah mengikat kita di masa lalu, kini sedang mengejar kita dengan pasukan berkudanya yang melaju kencang, membuat badai pasir di sekitarnya. Sedangkan di depan kita, sepanjang mata melihat hanyalah laut yang lebar dan begitu dalam. Tidak kelihatan ada kapal besar, tidak mungkin juga berenang. Lalu apa yang harus kita lakukan? Yang paling mudah dilakukan adalah berdoa sebentar, lalu sebentar lagi mengeluh, merasa bersalah, dan tak lama kemudian menyalahkan diri kita, sekitar kita, tidak cukup dengan itu, lalu kita salahkan orang lain.

Di belakang, persoalan-persoalan berusaha mendatangi kita menuntut penyelesaian dengan cepat, sedangkan di depan, kita tidak melihat bagaimana cara menyelesaikan persoalan tersebut. Perasaan frustasi, perasaan kegagalan di masa lalu, perasaan cemas bercampur aduk, mungkin itu yang kita rasakan.

Seperti kepada orang Israel, Musa juga menghibur kita dengan berkata, Jangan takut! Berdirilah teguh dan lihatlah TUHAN akan menyelamatkan kamu hari ini. Sebab, orang-orang Mesir yang kamu lihat hari ini takkan pernah kamu lihat lagi. Kamu tidak perlu melakukan apa pun sebab TUHAN akan berperang untukmu.” Namun, di ayat berikutnya, Tuhan berkata dengan tegas, “Musa, mengapa kau masih menghibur-hibur di sini. Mereka harus segera lanjutkan perjalanan maju ke depan. Segera!

Sepertinya Tuhan tidak berkesan apabila kita diam saja lalu menonton ke belakang sambil berseru-seru meminta pertolongan dan penghiburan. Yang Tuhan mau, segera lanjutkan perjalanan maju ke depan, ke mana, ke Laut Terberau, suatu masa di depan yang harus kita langkahi.

Saya mendapat sebuah cerita kenapa singa bisa menerkam kijang, sedangkan kecepatan lari kijang jauh melebihi kecepatan lari singa. Saat berlari, kijang yang merasa dirinya lemah, yang merasa dirinya bakal binasa, sering tergoda untuk berlari menyamping ke kanan ke kiri (zig-zag) untuk memantau jarak singa yang ada di belakangnya. Pantauan bahwa dirinya masih dikejar inilah yang membuat kijang kehilangan fokus dan kekuatan mentalnya, dan akhirnya menjadi santapan si singa sehabis olahraga lari cepatnya.  “Kijang-kijang” segeralah berlari maju terus ke depan, jangan tergoda melihat ke belakang, jangan melihat kegagalan masa lalu, jangan tergoda membayangkan besarnya persoalan yang mengejar kita di belakang.

Serunya adalah saat kita melangkahkan kaki kita yang pertama ke dalam laut Teberau dengan penyertaan Tuhan, tempat pijakan kita telah menjadi tanah yang kering. Setiap satu langkah maju kita ke depan, berarti “menenggelamkan” besarnya persoalan di belakang kita. Dengan mujizatNya, Tuhan campur tangan, saat kita percaya dan bertanggung jawab menyelesaikan segala masalah. Saya tidak mengatakan, untuk kita lari dari persoalan atau membiarkan masalah yang ada.

Jadi bagaimana dengan Anda, apa tetap merasa terpojok? Ketakutanmu membunuhmu!