Pasukan militer Myanmar menyerang gereja katedral di negara bagian Shan di timur laut untuk kedua kalinya dalam lima bulan terakhir. Sepanjang waktu ini, mereka telah menargetkan gereja-gereja Katolik dan biara-biara sehingga membuat 10.000 orang melarikan diri.

Pasukan militer menembaki Katedral Hati Kudus Yesus di Keuskupan Pekhon pada Selasa, 9 November 2021, beberapa hari setelah peristiwa penembakan biara Suster Zetaman. Penembakan tersebut merusakan jendela dan bangku-bangku, tetapi tidak ada korban jiwa dilaporkan.

“Itu adalah pertempuran yang intens, sehingga mayoritas orang telah melarikan diri dari rumah mereka ke daerah yang aman,” kata seorang pekerja sosial Katolik kepada Union of Catholic Asia News. Ia menambahkan bahwa gereja tidak sanggup untuk memenuhi kebutuhan akibat pertempuran, yang juga menyebabkan pekerja bantuan melarikan diri. Katedral tersebut juga terkena tembakan artileri pada bulan Juni.

Etnis minoritas Myanmar, termasuk Kristen, tinggal di berbagai zona konflik di perbatasan negara dengan Thailand, Cina, dan India. Ratusan ribu warga sipil, banyak dari mereka beragama Kristen, telah mengungsi sejak kudeta militer pada bulan Februari lalu.

Bulan lalu, pasukan keamanan Burma menembakkan artileri berat ke sebuah kota di negara bagian Chin yang mayoritas penduduknya beragama Kristen, membakar sedikitnya 100 rumah dan dua gereja. Departemen Luar Negeri AS mengeluarkan pernyataan yang mengutuk “pelanggaran berat hak asasi manusia.” Serangan itu sebagai pembalasan setelah seorang militer Chin menembak dan membunuh seorang tentara Burma yang mendobrak masuk ke rumah-rumah dan menjarah properti.

Terhitung sejak bulan Mei ke Juni, setidaknya delapan gereja rusak dalam 30 hari di negara bagian Kayah dan Shan.

Lima warga sipil yang berlindung di dalam gereja dilaporkan tewas. Pada bulan Mei, empat warga sipil terbunuh dan delapan orang lainnya terluka saat pasukan keamanan menembakkan peluru atileri ke gereja Katolik di negara bagian Kayah. Pada bulan September, seorang pendeta muda, Cung Biak Hum dari Thantlang Centennial Baptist Church, ditembak mati ketika dia mencoba membantu salah satu jemaatnya menyelamatkan rumah mereka yang terbakar setelah dibakar oleh militer selama serangan terhadap warga sipil di negara bagian Chin.

Pelapor Khusus PBB untuk Myanmar, Tom Andrews, menyoroti pembunuhan pendeta Cung Biak Hum dalam sebuah cuitan di media sosial Twitter, menyerukan kepada masyarakat internasional untuk “memperhatikan lebih dekat” pada “neraka hidup” yang dihadapi warga sipil sejak kudeta Februari membawa kembali kekuasaan militer penuh,

Menurut Open Doors USA pada tahun 2021, Myanmar berada di peringkat No. 18 dari 50 negara di mana orang Kristen menghadapi penganiayaan paling parah. Tingkat penganiayaan di Myanmar sangat tinggi karena nasionalisme Buddhis. Burma diakui oleh Departemen Luar Negeri AS sebagai “negara yang menjadi perhatian khusus” atas pelanggaran berat kebebasan beragama.

Mari kita dukung dalam doa untuk warga sipil di Myanmar yang terjebak di tengah peperangan melawan pasukan militer. Kiranya ada damai sejahtera dan pemulihan atas Myanmar dan Tuhan memberikan kekuatan kepada umatNya.

Sumber : christianpost.com