Jika kita mendengar kata “martir”, apa yang ada dipikiranmu?

Beberapa waktu lalu—tepatnya hari Minggu pagi, 13 Mei 2018—Surabaya dikejutkan dengan adanya peristiwa bom bunuh diri di tiga gereja. Hal itu sontak membuat warga panik dan beberapa tempat ibadah diliburkan untuk sementara. Korban dari aksi keji itu tak lain adalah jemaat gereja yang sedang melayani. Anak-anak kecil juga turut menjadi korban dalam peristiwa tersebut. Berita duka ini langsung direspon aktif oleh beberapa pihak, bahkan sampai media mancanegara. Banyak warga yang mengecam aksi terorisme sebagai tindakan yang tidak berperikemanusiaan. Stasiun TV selama sepekan ini menjadikan aksi terorisme sebagai berita utama. Penjagaan di beberapa lokasi mulai diperketat. Berita-berita hoaks mulai bermunculan dan menebar ketakutan di masyarakat.

Dunia sedang cemas. Tidak bisa dimungkiri bahwa ancaman seperti ini menimbulkan rasa takut dan gelisah akan keselamatan diri sendiri juga orang-orang sekitar. Kita sebagai anak Tuhan pun juga memiliki rasa takut itu. Mengesampingkan rasa takut dan gelisah, orang-orang yang menjadi korban saat persitiwa tersebut justru sedang melayani Tuhan dengan semangat. Contohnya jemaat bernama Aloysius Bayu. Ia melayani di bidang keamanan gereja. Tetapi siapa sangka bahwa ia adalah orang yang berada di garis terdepan untuk menghalangi teroris agar tidak masuk ke dalam gereja. Dengan pelayanannya yang hanya sebagai keamanan gereja, ia dapat berbuat sesuatu bagi orang lain. Berkat jasanya, banyak jemaat yang berhasil menyelamatkan diri.

Seorang wanita muda yang takut akan Tuhan bernama Martha Djumani juga turut menjadi korban peristiwa bom di gereja GPPS Sawahan. Ia saat itu sedang melayani Tuhan di bidang usher (penerima tamu). Sebagaimana kita ketahui bahwa usher juga bertugas di depan pintu masuk gereja. Ketika kondisi di luar gereja tidak mendukung, maka usher menjadi orang pertama yang berjaga-jaga atas keadaan jemaat di dalam gereja. Risiko itu pula yang diterima oleh Martha. Aksi bom juga memakan korban yang merupakan seorang remaja berusia lima belas tahun bernama Daniel Agung Putra Kusuma. Daniel adalah juru parkir gereja. Ia merupakan orang pertama yang menghadang mobil teroris agar tidak masuk ke area parkir gereja. Remaja itupun tewas saat melakukan aksi heroiknya. Karena peristiwa itu, ia pun dijuluki ‘Little Hero Daniel’.

Mereka adalah contoh orang yang mau mati sebagai pahlawan Tuhan. Mereka rela mengorbankan diri sendiri supaya banyak orang bisa mendapatkan kesempatan untuk hidup. Tidak ada pemikiran untuk mementingkan diri sendiri. Menghargai sebuah pelayanan sebagai kesempatan untuk menyenangkan hati Tuhan. Mereka mati bukan berarti kalah, melainkan menang sebagai tentara Tuhan. Menang dari ketakutan, menang dari pemusatan diri sendiri, dan tentunya memenangkan hidup banyak orang. Lewat peristiwa ini kita mau disadarkan bahwa Tuhan bisa memakai pelayanan seseorang untuk menggenapi rencana-Nya yang terbaik. Entah itu hanya sebatas cleaning service atau pelayanan mimbar, Tuhan lebih melihat ke kedalaman hati kita. Pelayanan mereka yang sederhana dapat menjadi inspirasi untuk lebih bersyukur dan menggunakan kesempatan yang ada untuk melayani-Nya lebih lagi. Segala bentuk pelayanan, usia, jenis kelamin, ras maupun status hidup seseorang bukan menjadi alasan bagi kita untuk tidak menggenapi panggilan-Nya sebagai pahlawan Kristus.

Setiap kita diciptakan untuk menjadi prajurit Tuhan yang sejati

Seorang prajurit yang sedang berjuang tidak memusingkan dirinya dengan soal-soal penghidupannya, supaya dengan demikian ia berkenan kepada komandannya.” [2 Timotius 2:4]. Ketika kematian rasanya sudah ada di depan muka, disitulah tugas dari seorang prajurit telah selesai; berakhir sebagai pahlawan Tuhan yang lebih dari pemenang. “Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.” [Filipi 1:21]