Keluarga merupakan kelompok sosial pertama bagi manusia untuk bertumbuh dan berkembang. Banyak karakter yang dibentuk di dalam keluarga. Namun, ada kalanya keluarga yang diharapkan menjadi sumber cinta dan kasih sayang justru menjadi sumber trauma dan luka. Keluarga yang seharusnya menjadi tempat rasa aman dan nyaman, justru tidak berfungsi sebagaimana seharusnya yang disebut sebagai disfungsi keluarga.
Banyak penyebab terjadinya disfungsi dalam keluarga, misalnya masalah finansial yang membuat anak merasa kebutuhannya tidak terpenuhi, riwayat kekerasan, baik secara fisik, emosional atau seksual. Mungkin juga kekerasan tersebut tidak terjadi pada dirinya secara langsung, tetapi terjadi pada orang terdekat misalnya pada orang tua atau saudara kandung yang mengakibatkan trauma.
Kurang komunikasi
Keluarga yang mengalami disfungsi biasanya memiliki masalah dalam hal komunikasi. Mereka tidak tahu bagaimana berkomunikasi secara terbuka satu sama lain, sebab tidak adanya lingkungan yang sehat untuk berdiskusi. Misalnya, anggota keluarga tidak saling mendengarkan satu sama lain, atau anggota keluarga cenderung meremehkan cerita orang, atau komunikasi yang sering terjadi adalah berteriak dan berkelahi.
Kurang empati
Dalam keluarga yang disfungsi, tidak ada cinta dan kasih sayang sehingga empati anggota keluarga kurang. Misalnya selalu ada hukuman untuk setiap kesalahan yang dilakukan dan hukuman tersebut cenderung berat, terutama pada anak-anak, sehingga anak-anak ketakutan secara terus menerus.
Rawan kecanduan
Orang tua yang kecanduan alkohol, merokok atau narkoba, akan membuat anak-anak juga turut kecanduan ketika dewasa. Sebab anak-anak cenderung meniru perilaku orang tua dan mereka melihat orang tua mereka demikian sehingga mereka menganggap hal tersebut bukan masalah.
Tidak ada dukungan emosional
“Jangan nangis, mama nggak suka!” atau “Jangan cemberut dan marah” ketika anak mengekspresikan apa yang ia rasakan. Anak menjadi sulit mengekspresikan emosinya dan cenderung menekan dan memendamnya sendiri. Namun, ini akan menjadi bom waktu yang bisa meledak kapan saja ketika sudah menumpuk.
Perilaku mengontrol yang berlebihan
Orang tua tentu menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya, namun terkadang pemikiran tersebut membuat kontrol yang berlebihan sampai melanggar privasi anak. Misalnya, anak-anak tidak dibiarkan melakukan pekerjaan-pekerjaan sendiri sehingga menghambat kemampuan anak untuk bertumbuh dan berkembang. Contohnya, ketika anak-anak ingin mencuci piring mereka, orang tua kemudian mengambil alih dengan berkata “Biar mama saja yang cucikan,” kemudian menambahkan dengan kalimat “Nanti kalau kamu yang cucikan jadi tidak bersih.” Kontrol yang berlebihan dapat membuat anak-anak menjadi ragu dan tidak percaya dengan kemampuan sendiri.
Atau bahkan menjadi terlalu ikut campur kepada urusan anak-anak dengan dalih tidak ingin anak membuat keputusan yang salah dengan memeriksa apa yang dilakukan anak-anak setiap saat. Akhirnya mereka bertumbuh menjadi pribadi yang bimbang dan sulit mengambil keputusan. Terkadang anak perlu mengalami kesalahan dan kegagalan karena dalam kesalahan dan kegagalan, mereka akan belajar.
Perfeksionis
Tak jarang juga, orang tua memberi tekanan kepada anak-anak agar berprestasi, bahkan tak jarang juga membandingkan kemampuan mereka dengan saudaranya, bahkan dengan tetangga. Anak-anak lalu bertumbuh dengan ketakutan akan kegagalan karena merasa jika mereka gagal, mereka tidak akan dicintai, dan tumbuh menjadi anak yang perfeksionis. Perfeksionis itu perlu, tetapi perfeksionis yang berlebihan tidak akan memberi dampak positif.
Kritik berlebihan
“Jangan pakai warna cerah, kamu terlihat gendut,” atau “Kamu makan terus, nanti jadi gendut.” Anak-anak terus menerus menerima kritikan untuk setiap kekurangan atau setiap apapun yang yang mereka kerjakan. Orang tua dalam keluarga disfungsi seringkali merendahkan, menggurui dan menanamkan rasa tidak berdaya dan kurang percaya pada anak yang menyebabkan rendahnya harga diri anak. Anak-anak kemudian bertumbuh dengan gambar diri yang salah, selalu merasa tidak bisa, merasa tidak layak, dan merasa tidak berharga. Kritik itu baik untuk membangun, tetapi kritik berlebihan dan cara penyampaian yang tidak tepat justru menghasilkan luka.
Keluarga adalah lingkungan “gereja” terkecil di mana kasih Kristus dinyatakan pada setiap anggota keluarga. Kristus haruslah menjadi kepala keluarga sehingga keluarga berfungsi sebagaimana seharusnya. Karena itu, baiklah kita menjadikan Kristus sebagai kepala yang memimpin keluarga kita, dan mintalah hikmat kepada-Nya untuk mendidik setiap anak-anak dengan ajaran Kristus yang benar.
Sumber : berbagai sumber